Jumat, 04 Desember 2015

menangkap nilai eksklusif Jambore Relawan Sekolah Raya 2015

Keriuhan peserta Jambore Relawan masih terasa usai gelaran Jambore Relawan Sekolah Raya 2015, 28 – 29 Nopember yang lalu. Mulai dari timeline yang diwarnai foto-foto selama acara, hingga notifikasi dari group whatsapp yang dalam per sekian menit bisa mencapai puluhan.  

dokumentasi foto: Sekolah Raya
Bagi saya, satu dari banyak hal paling menarik yang saya temui dalam Jambore Relawan tahun ini adalah hadirnya satu komunitas difabel yang diwakili oleh duo kakak beradik Sofa Sofia dan Ahmad Yusuf dari Youth for Diffable. 
Kehadiran mereka yang baru datang pada sore hari di hari pertama sempat menyita perhatian pendiri Sekolah Raya –Agustian-, saat mengikuti sesi materi. Sekilas, mereka terlihat asik ngobrol berdua saja ditengah narasumber sedang menyampaikan paparan materi. Sempat terusik dengan polah mereka tersebut, Om Agustian pun diam-diam memperhatikan keduanya dengan seksama. Ternyata sang adik -Yusuf- sedang menterjemahkan paparan narasumber ke dalam bahasa isyarat, kepada kakaknya yang mengalami gangguan fungsi pendengaran.  

Menarik, karna kami tidak mengira bahwa satu dari dua perwakilan Youth for Diffable yang datang benar-benar penyandang difabilitas. Melihat kembali ekspresi mereka dalam sejumlah rekaman foto
sungguh membuat hati saya bergetar.
dokumentasi foto: Sekolah Raya
dokumentasi foto: Sekolah Raya

dokumentasi foto: Sekolah Raya
Bagaimana respon dari kawan-kawan peserta lain? Saya terharu. Karna semua tetap berjalan normal-normal saja. Kehadiran mereka tidak menjadi keganjilan bagi peserta yang lain. Semua tetap mengikuti sesi materi seperti biasa. Pun pada hari kedua saat sesi tindak lanjut materi, dan sesi penutupan acara Jambore Relawan Sekolah Raya 2015, mereka tetap dapat membaur tanpa ada perlakuan berbeda dari peserta lain mau pun panitia.
Tidak berhenti sampai disana, interaksi yang terbentuk di group whatsapp Alumni Jamrel 2015  juga tetap berjalan normal tanpa mengesampingkan kehadiran mereka dalam group tersebut.

Dan di Hari Disabilitas Internasional, kawan-kawan di group whatsapp Alumni Jamrel 2015 pun turut serta memberi dukungan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang inklusif. Antusiasme kawan-kawan dalam mendukung terciptanya masyarakat Indonesia yang inklusif juga ditunjukan dengan pernyataan minat untuk belajar menguasai BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Yusuf menginformasikan bahwa pada bulan Januari 2016 mendatang, Youth for Diffable akan membuka kelas baru.


Perkenalan dengan mereka memberikan pemahaman baru bagi saya dan kawan-kawan tentang kelompok difabilitas untuk segmen difabilitas pendengaran. Pemahaman mengenai Identitas Tuli dalam dua sudut pandang, yang dibagikan oleh Yusuf di group whatsapp Alumni Jamrel 2015.
1.    Sudut pandang Sosial Budaya
  • Orang-orang Tuli menggunakan bahasa yang berbeda.
  • Orang-orang Tuli tidak sakit mereka hanya berbeda.
  • Anak-anak Tuli sebaiknya berinteraksi dengan Tuli dewasa.
  • Ketulian tidak perlu disembuhkan
  • Orang-orang dengar dan orang Tuli perlu saling belajar bahasa masing-masing.
  • Orang-orang Tuli baik-baik saja. Apa yang menjadi terbaik adalah mereka mengetahui bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan bahasa nasional tertulis.
  • Bahasa Isyarat tidak merusak kemampuan berbicara (tidak ada bukti)
  • Tidak ada perbedaan kemampuan mental antara orang Tuli dan orang mendengar.
2.    Sudut pandang Medis
  • Orang-orang Tuli tidak bisa mendengar
  • Orang-orang Tuli adalah orang sakit
  • Anak-anak Tuli sebaiknya dibawa kedokter untuk diperiksa
  • Mereka dapat disembuhkan dengan teknologi (ABD dan CL)
  • Orang-orang Tuli memiliki masalah dan perlu diubah.
  • Mereka diharuskan belajar untuk menjadi seperti orang-orang dengar (bicara, bicara bibir dan mendengar).
  • Bahasa isyarat dapat merusak kemampuan berbicara.
  • Mereka berintelektual rendah dan memiliki kemampuan terbatas.
Saya menjadi paham, selama ini kita sebagai masyarakat awam didominasi oleh doktrin dari sudut pandang medis, luput bahwa identitas tuli dalam sudut pandang budaya justru lebih menempatkan mereka pada tataran kehidupan bersosial yang setara dengan kelompok masyarakat normal lainnya.


dokumentasi foto: Sekolah Raya
Ah, terimakasih kalian. Iya, kalian. Kalian segenap elemen di Jambore Relawan Sekolah Raya 2015. Utamanya kalian, kakak beradik Sofa Sofia dan Ahmad Yusuf. Terimakasih mengajarkan dan mengajak kami bersama-sama belajar menciptakan ruang inklusif bagi penyandang difabilitas, memberikan pemahaman lebih tentang dunia difabilitas, khususnya segmen difabilitas pendengaran. Terimakasih semesta, yang telah mempertemukan kami semua melalui Jambore Relawan Sekolah Raya.

Terciptanya lingkungan yang inklusif dalam Jambore Relawan Sekolah Raya 2015, justru menjadi nilai eksklusif terhadap gelaran acara Jambore Relawan Sekolah Raya 2015 itu sendiri.

Terimakasih kalian. Salam takjub, salam kebaikan!

4 komentar:

  1. good job ka ije! ini tulisan bakal memulai tulisan yg lain yap *muah

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihih.. makasih kaprit..
      ide tulisannya kebanyakan mengkristal sebatas outline aja :D

      Hapus
  2. Apresiatif sekali tulisannyaa..... Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. hallo Cak Ipoel, salam kenal juga.. terimakasih komentar apresiasinya hehe..
      Salam buat si kakak, semoga segera pulih dan bisa beraktivitas seperti semula..

      Hapus