Minggu, 02 November 2014

saat “kabar baik” adalah nyanyian duka..

“akhirnya berangkat malam ini menjenguk Ibu di Jogja. Yang sudah diperbolehkan pulang setelah bolak balik ICU selama dua minggu ini. Alhamdulillah.” Air mata saya mulai mengambang mendapati kalimat tersebut dari update status FB seorang kawan. Dan perlahan kekhawatiran  mulai merayap, pelan namun sangat kuat. Seluruh ingatan tentang kejadian serupa tiba-tiba datang melekat.

Bagaimana tidak, masih segar dalam ingatan saya tentang kesehatan almh. Ibu yang tiba-tiba tampak membaik di hari terakhirnya. Padahal kurang lebih selama seminggu sebelumnya, maag yang diderita Ibu kambuh. Dampaknya lambung Ibu kesulitan menerima makanan, mual tak berkesudahan, lemas, sehingga aktivitasnya lebih banyak di tempat tidur. Beliau pun terpaksa meninggalkan puasa Ramadhannya. Menolak untuk dirawat di rumah sakit. Namun di hari terakhirnya,
beliau dapat menyelesaikan masakan rendangnya (kami memang orang Minang), menyiapkan seluruh kebutuhan hari raya. Saya bahkan nyaris tidak percaya saat di hari terakhirnya tersebut saat saya menghubungi beliau via telpon dan beliau mengatakan tidak bisa bicara lama di telpon karna sedang mengaduk rendang. Bathin saya, “eh mamak dah sehatan, Alhamdulillah..”.
Belakangan saya dengar dari para tetangga bahwa di hari terakhirnya itu pun beliau menjumpai para tetangga di sekitar rumah, mengobrol ringan, pergi ke warung guna mencukupi keperluan masakan hari raya. Dan sore harinya pun beliau mampu membawa tubuhnya sendiri untuk pergi ke klinik bersama kakak.
Tak ada satu pun dari kami anak-anaknya dan juga suaminya yang mendapat firasat bahwa pada malam itu ia pun menghadap Tuhannya, usai paginya ia melepas kedua anak beserta keluarganya untuk mudik berhari raya ke kampung halaman, kemudian menjelang siang meminta saya membeli tambahan kue lebaran, dan pada sore hari lebih mengijinkan suaminya untuk menghadiri undangan buka puasa bersama sekaligus selamatan rumah baru seorang keponakan suaminya daripada menerima tawaran suaminya untuk menemani beliau ke klinik. Ia melepaskan kami, dan memilih melepas tarikan napas terakhirnya sendiri.

Saya pun teringat, seminggu sebelum kepergiannya, sambil menonton infotaintment yang berisi tentang kabar adik seorang penyanyi duo yang meninggal setelah sebelumnya menunjukan perkembangan kesehatan yang membaik, kabar seorang entertainer terkenal yang akan pulang ke Indonesia karna kesehatannya juga mulai membaik usai sekian lamanya menjalani pengobatan di negara tetangga, kami pun berbincang dan mengenang kepergian seorang tante persis sehari setelah menunjukan perkembangan kesehatan yang lebih baik kepada anaknya. Kemudian almh. Ibu bilang, “orang-orang pada begitu ya, sakit lama eh mau meninggal dikasih sehat dulu, ngasih harapan ke orang-orang yang mau ditinggalin..”

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan lainnya pun berkisah serupa. Almh Ibunya berpulang tepat sesaat setelah dokter mengijinkan pulang usai dua minggu di rawat di ICU karna kecelakaan mengakibatkan gumpalan darah beku di kepalanya. Sehari sebelum kepergiannya tampak sehat, nafsu makan membaik, dan bisa bercanda-canda. 

Sungguh, saya tidak berharap kejadian serupa menyapa kawan tersebut. Tidak.

1 komentar:

  1. Ketika kau menulis dengan hati , tulisanmu tambah bagus... persis seperti kata orang bahwa kalau ngeblog harus pakai hati..

    tulisan yg menyentuh...nice

    BalasHapus